BLOGSIA.EU.ORG - Setiap pemerintah kabupaten dan kota diberi kewenangan untuk mengusulkan kebutuhan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun, proses pengusulan tersebut tidak bisa dilakukan sembarangan. Regulasi yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 mengikat setiap langkah yang harus ditempuh.
Dalam aturan itu dijelaskan, penetapan kebutuhan PPPK wajib melalui mekanisme yang ketat. Pasal 4 PP 49/2018 mengatur secara rinci bagaimana penyusunan kebutuhan dilakukan. Pemerintah daerah, misalnya, diwajibkan menyusun kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK berdasarkan analisis jabatan serta analisis beban kerja.
Ketentuan itu bukan hanya berlaku sesaat. Penyusunan kebutuhan PPPK harus dibuat untuk jangka waktu lima tahun, dengan rincian per tahun sesuai prioritas yang ditetapkan. Aturan ini juga menegaskan bahwa perencanaan kebutuhan PPPK tidak boleh berdiri sendiri, melainkan menjadi satu kesatuan dengan penyusunan kebutuhan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Prosedur berikutnya menuntut adanya keputusan dari kementerian. Kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK di setiap instansi hanya sah setelah ditetapkan melalui Keputusan Menteri. Bahkan, secara nasional, kebutuhan PPPK ditetapkan setiap tahun oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Keputusan itu diambil setelah memperhatikan pendapat Menteri Keuangan dan pertimbangan teknis Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Fakta ini menimbulkan pertanyaan: apakah semua daerah yang mengusulkan honorer menjadi PPPK benar-benar telah mengikuti prosedur yang sudah diatur? Sebab, pengusulan tanpa dasar analisis jabatan dan beban kerja jelas berpotensi menyalahi ketentuan hukum.
Banyak daerah diduga terburu-buru memasukkan usulan tanpa memeriksa apakah formasi jabatan sudah sesuai dengan analisis yang dipersyaratkan. Misalnya Pemkab Sumenep, yang mengusulkan sebanyak 5000 honorer untuk menjadi PPPK. Apakah masing-masing OPD yang mengusulkan honorer sudah melakukan prosedur seperti yang diperintahkan PP tersebut, atau asal usul? Jika tidak maka kondisi demikian rawan menimbulkan masalah administratif.
Pemerintah pusat melalui Kementerian PANRB telah menegaskan, seluruh usulan formasi PPPK dari daerah harus sesuai prosedur. Tanpa itu, keputusan tidak bisa dikeluarkan. Transparansi dalam penyusunan kebutuhan juga menjadi faktor penting agar proses rekrutmen berjalan objektif dan tidak menimbulkan polemik.
Dengan kata lain, aturan PP 49/2018 menjadi pagar hukum yang wajib ditaati. Kebutuhan PPPK tidak hanya menyangkut pemenuhan tenaga kerja, tetapi juga berkaitan dengan efisiensi anggaran negara. Jika daerah lalai menjalankan mekanisme, yang dirugikan bukan hanya honorer, tetapi juga publik yang bergantung pada layanan aparatur negara.
Kini sorotan publik mengarah ke pemerintah daerah: sudahkah mereka benar-benar mengikuti regulasi dalam mengusulkan honorer menjadi PPPK, atau sekadar mengejar kuota tanpa dasar hukum yang kuat?
(*)