Ditulis oleh: Redaksi Blogsia
Bayangkan sebuah drama politik yang lebih seru daripada sinetron jam tayang utama. Bukan soal cinta segitiga, melainkan kursi panas birokrasi. Dan tokoh utamanya bukan artis papan atas, tapi seorang pejabat publik bernama Agus Dwi Saputra, Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Sumenep. Namanya mendadak santer disebut-sebut bakal naik kelas menjadi Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah (Plt Sekda). Pertanyaannya sederhana tapi bikin alis terangkat: apa jadinya bila sosok dengan rapor merah di Dinas Pendidikan tiba-tiba jadi dirigen birokrasi Sumenep?
Publik masih ingat betul, dunia maya juga belum pikun, jejak Agus di Dinas Pendidikan lebih mirip roller coaster ketimbang perjalanan lurus seorang birokrat. Januari 2022, sebelas hari setelah dilantik, ia sudah “kepleset” di panggung publik. Pertanyaan sepele soal jumlah sekolah dasar di Sumenep justru membuatnya gagap. Bukannya menjawab, ia malah jadi bulan-bulanan kritik. Aktivis mahasiswa PMII STKIP PGRI pun geram, menilai pejabat baru itu minim pengalaman. Dunia pendidikan Sumenep seakan mendapat guru baru yang lupa bawa buku catatan.
Namun, politik punya wajah seribu. Tak semua pihak ingin melihat Agus tumbang secepat ia naik. Abdul Latif, politisi PPP di DPRD Sumenep, kala itu menyebut desakan mundur terlalu prematur. Wajar, katanya, kalau pejabat baru belum hafal detail teknis. Namanya juga baru duduk, masa langsung ditodong hafalan. Argumen ini terdengar masuk akal, tapi publik tetap geleng kepala. Kalau urusan jumlah sekolah saja kelabakan, bagaimana nanti mengurus kebijakan pendidikan yang nilainya miliaran?
Setahun berselang, kritik tak reda. Malah bertambah. Aktivis Dear Jatim menuding ada semrawut dalam pengelolaan anggaran pendidikan ratusan miliar rupiah. Dana BOS tak transparan, hibah peralatan TIK entah ke mana, pembangunan sekolah volumenya tak sesuai. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ikut mengamini temuan itu. Dan ketika massa demo, Agus memilih “dinas luar kota” ketimbang menemui. Hasilnya bisa ditebak: ban terbakar, spanduk terbentang, dan desakan mundur makin keras.
Belum sempat napas, 2024 membawa drama baru. Dalam debat Pilkada, calon bupati KH Ali Fikri menyinggung kepala dinas yang tak memenuhi kualifikasi sesuai Permendikbud 7/2017. Publik tak butuh waktu lama menebak siapa yang dimaksud. Agus bukan orang dengan latar belakang pendidikan, tapi industri dan perdagangan. Tak heran bila muncul sindiran pedas: “pendidikan di Sumenep terjebak dalam industrialisasi.”
Dan klimaksnya datang Juli 2025. Publik dikejutkan dengan dugaan korupsi dana Tunjangan Tambahan Penghasilan (Tamsil) guru P3K. Nama guru ada di daftar penerima, tapi uangnya tak kunjung sampai. Bank penyalur tegas menyebut data penerima sepenuhnya dari dinas pendidikan. Agus kembali menghilang, telepon tak diangkat, pesan diabaikan. Semua panah pun mengarah ke satu titik: kursi Kadisdik yang ia duduki.
Kini bayangkan, orang dengan rekam jejak penuh kontroversi itu ditunjuk menjadi Plt Sekda. Jabatan yang mestinya jadi dirigen birokrasi, penghubung bupati dengan perangkat daerah, sekaligus penjaga ritme administrasi. Pertanyaan publik makin tajam: apakah birokrasi Sumenep bakal lebih lincah, atau justru makin sempoyongan?
Ada dua skenario yang bisa dibayangkan. Pertama, Agus membawa pola lama ke panggung yang lebih besar: komunikasi publik minim, transparansi anggaran lemah, kebijakan penuh tanda tanya. Kalau di level dinas saja rapor merah, bagaimana bila seluruh perangkat daerah berada di bawah komandonya? Alih-alih jadi jembatan, ia bisa jadi jurang baru yang memperlebar ketidakpercayaan publik.
Skenario kedua, yang lebih optimistis, Agus justru menjadikan kursi Plt Sekda sebagai ruang pembuktian. Belajar dari kritik, memperbaiki komunikasi, lebih transparan, lebih disiplin. Mungkin. Tapi publik tentu skeptis. Sebab, sejarah jarang berbohong: rapor merah tidak bisa dihapus hanya dengan spidol baru.
Opini ini bukan vonis, melainkan alarm. Publik berhak bertanya, apakah kursi birokrasi tertinggi kedua setelah bupati pantas diisi sosok dengan catatan kontroversial? Ataukah Sumenep sedang dijadikan laboratorium uji coba bagi pejabat yang belum selesai urusannya di sektor pendidikan?
Fenomena Agus adalah cermin dari penyakit lama birokrasi daerah: rekrutmen pejabat lebih banyak ditentukan kepentingan politik ketimbang kompetensi. Aturan kualifikasi jelas ada, tapi sering dilanggar. Kritik publik dianggap angin lalu. Akuntabilitas seakan barang mewah yang bisa ditunda.
Bila Agus benar-benar duduk di kursi Plt Sekda, taruhannya bukan hanya rotasi jabatan. Ini akan menjadi ujian besar bagi bupati, integritas birokrasi, dan kepercayaan masyarakat. Pertanyaan publik sederhana tapi berat: apakah Sumenep dipimpin birokrasi yang kuat, atau tenggelam dalam krisis kepercayaan yang makin dalam?
Yang jelas, catatan masa lalu tak bisa dihapus dengan pena tanda tangan. Sejarah merekam, publik mengingat. Jabatan publik bukan sekadar soal kepercayaan politik, melainkan tanggung jawab moral. Rakyat Sumenep, yang sudah lama resah dengan dunia pendidikan, tentu tak ingin drama lama dipentaskan kembali di panggung birokrasi yang lebih besar.
(*)
-------------------
Sumber data opini diambil dari:
1. Majalah Gatra : Tak Tahu Jumlah SD, Kadisdik Sumenep Didesak Mundur
2. Momentum.com : Politisi PPP Sumenep Nilai Tuntutan Mundur Kadisdik Terlalu Prematur
3. Rilpolitik.com : Ini Dia Kadis di Sumenep yang Disebut Kiai Fikri Tak Penuhi Kualifikasi
4. Transindonesia.online : Raport Merah Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep
5. suaranusantara.online : Kadisdik Sumenep Diduga Korupsi Tamsil P3K, Guru Mengeluh kepada Media