blogsia.eu.org - Di balik kelam malam, ketika tubuh terlelap, pikiran kita menjelma bagaikan panggung teater. Terlintaslah berbagai adegan: terbang di atas lautan, bertengkar dengan orang yang telah tiada, atau lari dari bayangan mengerikan.
Saat kita terbangun, yang tersisa hanyalah pecahan kisah yang menyisakan rasa penasaran.
Sejak zaman purba, manusia telah mencatat ratusan mimpi beserta makna tersiratnya. Semakin berkembangnya zaman, para ilmuwan telah mengemukakan berbagai teori untuk menjawab mengapa kita bisa bermimpi dan apa manfaatnya. Berikut pembahasannya:
Cara Kerja Mimpi dalam Otak
Manusia bermimpi selama tidur REM (Rapid Eye Movement) karena otak memasuki fase aktivitas tinggi yang mirip keadaan sadar.
Pada fase ini, amigdala (pengolah emosi) dan hipokampus (penyimpan memori) aktif membentuk narasi dari pengalaman sehari-hari, sementara korteks prefrontal (logika) tidak aktif, menyebabkan mimpi terasa absurd.
Peningkatan asetilkolin memicu gambaran visual yang jelas, sedangkan rendahnya serotonin dan norepinefrin menghilangkan filter rasional.
Otak mencoba "menyambung" sinyal acak ini menjadi cerita, sementara batang otak melumpuhkan otot sementara (atonia REM) agar tubuh tidak bergerak mengikuti mimpi.
Konsolidasi Memori
Mimpi membantu otak menyaring dan menyimpan informasi. Studi pada tikus (1994) menunjukkan bahwa neuron hipokampus "memutar ulang" aktivitas siang hari selama tidur.
Penelitian di Nature Communications (2021) membuktikan bahwa partisipan yang memimpikan tugas tertentu menunjukkan peningkatan performa setelah bangun.
Hasil ini menguatkan kesimpulan bahwa proses mengingat hanya terjadi saat tidur, dan mimpi adalah medium di mana proses ini berlangsung.
Tidur untuk Melupakan dan Tidur untuk Mengingat
Pada tahun 2011, dua ilmuwan yaitu Matthew Walker dan Els van der Helm mengajukan teori revolusioner: Sleep to Forget, Sleep to Remember.
Teori ini menjelaskan bagaimana otak memisahkan rasa sakit dari kenangan, layaknya ahli kimia yang memurnikan logam berharga dari limbah beracun.
Selama tidur REM, noradrenalin (sinyal stres) menghilang. Amigdala yang tenang memungkinkan hipokampus memindahkan memori ke penyimpanan jangka panjang.
Tanpa proses ini, ingatan traumatis akan tetap melekat seperti luka yang tak kunjung kering.
Saat tidur REM, noradrenalin sinyal stres menghilang. Amigdala pun tenang, sementara hipokampus bekerja memindahkan memori ke penyimpanan jangka panjang. Dengan begitu otak kita hanya melenyapkan emosi, bukan informasi yang kita butuhkan.
Apabila kita tidak mengalami proses ini, ingatan traumatis tetap akan tetap melekat pada kenangan kita seperti luka yang tak pernah kering.
Mengasah Kemampuan untuk Bertahan Hidup
Diusung oleh Antti Revonsuo (2000), Teori Simulasi Ancaman membahas fungsi mimpi yang berperan bagaikan simulasi realitas pada otak, yang dirancang untuk meningkatkan kelangsungan hidup dengan mengasah respons terhadap ancaman.
Aktivasi sistem ancaman otak terjadi ketika amigdala (pusat rasa takut) mendeteksi sinyal bahaya dari memori atau imajinasi.
Selama tidur REM, amigdala dan hipokampus merekonstruksi ancaman masa lalu atau memproyeksikan skenario baru, sementara korteks prefrontal (penilai risiko) tidak aktif.
Kombinasi ini menciptakan simulasi ancaman yang terasa nyata, diperkuat oleh peningkatan norepinefrin dan kortisol sehingga terasa seperti seperti "latihan krisis" untuk mengasah kemampuan kita dalam merespons ancaman tertentu.
Contohnya, anak-anak sering bermimpi tentang monster atau ditinggalkan orang tua sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada orang dewasa.
Penutup
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mimpi bukan sekedar bunga tidur, melainkan mekanisme cerdas otak untuk:
- Membersihkan luka emosi,
- Mengasah naluri bertahan hidup,
- Menyiapkan diri menghadapi hari baru.
Berbagai penelitian membuktikan bahwa bermimpi bisa menjadi solusi efektif untuk mengatasi tantangan mental, bukti bahwa otak kita adalah "terapis alami" yang bekerja tanpa henti.
(*)