BELOGSIA.EU.ORG - SUMENEP — Pernyataan Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo, menuai gelombang kritik di media sosial. Ucapan Fauzi yang menyebut petani sebagai penyumbang angka kemiskinan dianggap menyudutkan kelompok yang justru menjadi tulang punggung ekonomi desa.
Dalam rapat penetapan titik impas harga tembakau di aula Arya Wiraraja, Rabu, 13 Agustus 2025, Fauzi menyampaikan kekhawatirannya terhadap kondisi petani.
“Begini, pada saat cuaca ini tidak menentu, maka kami khawatir petani ini mengeluarkan modal, bertani, rugi. Yang kami khawatirkan begitu merugi, ini kan bisa saja muncul orang miskin baru,” kata Fauzi.
Pernyataan itu segera viral setelah rekamannya diunggah akun Instagram @kangeanesia. Postingan tersebut dibanjiri hampir 500 komentar, sebagian besar bernada sinis.
Seorang warganet menulis: “keahlian pemerintah tidak bikin rakyat sejahtera, tapi nyalahin rakyat.” Akun lain, @nuriya12_, berkomentar, “Selama nunggu kode, makan apa petaninya pak? Saran ya pak, tolong kurangi event-event yang gak bermanfaat.”
Tak sedikit yang menuding pemerintah gagal memberi solusi konkret. Akun @nurulhasanahansari menuliskan, “Petani emang kerjaannya menanam lah.. kalau mau nanam aja harus nunggu kode petani mau kerja apa.. sediakan pupuk dan bibit yg berkualitas, yg murah mudah dijangkau petani saja. Kasi petani solusi bukan cuma kode-kode..”
Kemarahan publik tidak lepas dari posisi strategis tembakau di Sumenep. Sebagai komoditas unggulan, tembakau menjadi sumber pendapatan ribuan keluarga. Namun, hasil panen tidak tercatat dalam indikator resmi Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur kesejahteraan masyarakat.
Fauzi beralasan, meski harga tembakau tinggi, risiko kerugian petani tetap besar. “Pada saat misalnya uang saving yang dia punya habiskan untuk bertani, tiba-tiba panennya gagal, ini yang kami khawatirkan dari awal,” ujarnya.
Menurut Fauzi, Pemkab Sumenep sudah memberi imbauan agar petani menunda menanam tembakau sambil menunggu arahan pemerintah. “Makanya, kita wanti-wanti agar mereka tidak tanam sebelum kami kasih kode. Tapi petani kan punya keyakinan sendiri,” ucapnya.
Alih-alih meredam, pernyataan itu justru memperlebar jurang antara elit daerah dan warga desa. Kritik publik di media sosial menegaskan tuntutan agar pemerintah lebih berpihak pada petani. Ketersediaan pupuk, bibit murah, hingga perlindungan harga dianggap lebih mendesak daripada sekadar imbauan menunda tanam.
Bagi warganet, menyalahkan petani sama saja dengan mengabaikan kenyataan di lapangan.
(*)